Serikat Pekerja Kampus adalah Serikat pekerja yang mewadahi pekerja di bidang/sektor pendidikan tinggi

IKUTI KAMI:

Alamat SPK

Mari bergabung, atau tetap terhubung dengan kami untuk memperjuangkan nasib pekerja kampus.

shape
shape

Upah Dosen dan Masa Depan Pendidikan Tinggi

  • Beranda
  • Upah Dosen dan Masa Depan Pendidikan Tinggi
Post Image

Upah Dosen dan Masa Depan Pendidikan Tinggi

Oleh Desi Sommaliagustina*

Di tengah euforia menuju “Indonesia Emas 2045”, ada ironi yang mengusik nurani: para dosen sebagai tulang punggung pendidikan tinggi justru terpinggirkan secara ekonomi. Mereka menjadi simbol intelektualisme, tetapi hidup dalam ketidakpastian kerja dan ketimpangan penghasilan. Jika pendidikan tinggi adalah pilar peradaban, lalu mengapa para pendidik akademik justru diperlakukan sebagai buruh marjinal dalam sistem yang tidak berpihak?

Ketimpangan gaji dosen di Indonesia bukan sekadar beda angka antarkampus, melainkan gambaran nyata dari ketidakadilan struktural. Dosen di perguruan tinggi negeri (PTN) umumnya menerima gaji pokok, tunjangan profesi, dan tambahan penghasilan dosen (TPD). Sementara itu, mayoritas dosen di perguruan tinggi swasta (PTS) yang jumlahnya jauh lebih banyak menggantungkan penghasilan dari jam mengajar, tanpa tunjangan, tanpa perlindungan, bahkan tanpa kepastian kontrak kerja.

Di sejumlah PTS kecil dan menengah, banyak dosen hanya menerima Rp50.000–Rp100.000 per SKS. Jika seorang dosen mengajar 10 SKS dalam satu semester, penghasilannya bisa tidak mencapai upah minimum daerah. Dosen tetap pun kerap diberlakukan sebagai pekerja kontrak jangka pendek, yang hanya diperpanjang dari semester ke semester, tanpa jaminan hari tua atau kesehatan. Tak sedikit dosen yang harus mencari penghasilan tambahan sebagai penulis lepas, guru privat, bahkan ojek daring.

Kontras ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara dan pengelola pendidikan tinggi memperlakukan dosen sebagai profesi mulia atau sekadar operator kurikulum? Bagaimana bisa mencetak generasi emas jika pendidiknya hidup dalam kondisi rentan?

Selama ini, kampus diposisikan sebagai menara gading yang menjunjung tinggi kebebasan akademik dan pencarian kebenaran ilmiah. Namun, di balik idealisme itu, kampus sejatinya adalah tempat kerja. Di dalamnya terdapat relasi industrial antara pemberi kerja (rektorat atau yayasan) dan pekerja (dosen, tenaga kependidikan, peneliti).

Sayangnya, relasi kerja ini tidak berjalan seimbang. Banyak dosen yang tidak memiliki posisi tawar karena absennya mekanisme perlindungan kolektif. Ketakutan terhadap pemutusan kontrak, penurunan jam mengajar, atau stigma “tidak loyal” membuat mereka bungkam terhadap pelanggaran hak-haknya. Dalam kondisi seperti ini, perlindungan normatif tidak cukup. Diperlukan keberadaan organisasi pekerja yang kuat, yaitu Serikat Pekerja Kampus.

Serikat Pekerja Kampus: Ruang Advokasi

Serikat Pekerja Kampus (SPK) hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap marjinalisasi dosen dalam sistem kerja yang eksploitatif. SPK tidak hanya memperjuangkan upah layak, tetapi juga membuka ruang advokasi atas berbagai persoalan: kontrak kerja yang tidak adil, beban kerja yang berlebih, diskriminasi gender, dan pemutusan hubungan kerja tanpa dasar.

Di beberapa negara seperti Australia dan Kanada, keberadaan serikat dosen menjadi bagian integral dalam tata kelola pendidikan tinggi. Mereka terlibat dalam negosiasi beban kerja, evaluasi kinerja akademik, hingga penyusunan kebijakan kampus yang berdampak pada kesejahteraan tenaga pendidik. Di Indonesia, inisiatif SPK mulai tumbuh di sejumlah kampus, tetapi masih menghadapi banyak tantangan: stigma, tekanan manajemen, hingga ketidakpastian hukum.

Pemerintah dan pengelola kampus seharusnya melihat SPK bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai mitra. Serikat pekerja dapat menjadi kanal komunikasi yang sehat antara manajemen dan dosen, sekaligus menciptakan iklim akademik yang lebih demokratis dan transparan. Dalam jangka panjang, ini akan berdampak positif bagi mutu pendidikan dan reputasi institusi.

Sayangnya, relasi kerja ini tidak berjalan seimbang. Banyak dosen yang tidak memiliki posisi tawar karena absennya mekanisme perlindungan kolektif. Ketakutan terhadap pemutusan kontrak, penurunan jam mengajar, atau stigma “tidak loyal” membuat mereka bungkam terhadap pelanggaran hak-haknya. Dalam kondisi seperti ini, perlindungan normatif tidak cukup. Diperlukan keberadaan organisasi pekerja yang kuat, yaitu Serikat Pekerja Kampus. -Desi Sommaliagustina

Peran Negara, Demokratisasi Kampus

Negara tidak bisa lepas tangan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memang menyebutkan hak dosen atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Namun, implementasinya minim, terutama di sektor swasta. Banyak PTS yang tidak mampu atau tidak mau memenuhi standar upah layak bagi dosennya. Pemerintah semestinya menetapkan standar gaji nasional minimum untuk dosen, terlepas dari status PTN atau PTS.

Selain itu, negara perlu mengintegrasikan jaminan sosial tenaga kerja ke dalam sistem pendidikan tinggi. Setiap dosen, baik tetap maupun kontrak, harus dilindungi dengan BPJS Ketenagakerjaan, jaminan pensiun, dan asuransi kesehatan. Sertifikasi dosen juga perlu dikaji ulang agar tidak menjadi beban administratif semata, tetapi alat untuk memperjuangkan kesejahteraan dan profesionalisme.

Pemerintah juga bisa mendorong terbentuknya lembaga independen yang menangani pengawasan ketenagakerjaan di sektor pendidikan tinggi. Selama ini, pelanggaran hak dosen jarang mendapat perhatian karena dianggap urusan internal kampus. Padahal, pendidikan tinggi adalah sektor strategis negara, bukan ruang privat yayasan.

Ketimpangan gaji dan kerentanan kerja di kampus adalah gejala dari persoalan yang lebih luas: minimnya demokrasi dalam tata kelola perguruan tinggi. Banyak kampus masih dijalankan secara sentralistik dan elitis. Kebijakan ditentukan oleh segelintir orang, tanpa melibatkan suara dosen dan tenaga kependidikan.

Padahal, kampus semestinya menjadi model demokrasi partisipatoris, tempat perbedaan pendapat dihargai dan hak-hak pekerja dijamin. Dalam semangat itu, kehadiran SPK bukan sekadar alat perunding upah, melainkan katalis bagi perbaikan tata kelola. Dosen yang memiliki ruang bersuara akan lebih berani menyampaikan kritik ilmiah, menjalankan pengabdian dengan merdeka, dan mendidik mahasiswa dengan integritas.

Perjuangan menuju upah layak bagi dosen bukan perkara mudah. Diperlukan sinergi antara negara, kampus, serikat pekerja, dan masyarakat. Masyarakat juga perlu lebih sadar bahwa mutu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh akreditasi institusi atau peringkat internasional, tetapi oleh kesejahteraan dan kemerdekaan dosen yang mengajar di ruang-ruang kelas.

Sudah saatnya kita menggeser fokus dari wacana "mahasiswa sebagai pelanggan" menjadi "dosen sebagai aktor kunci pembentuk peradaban". Gaji dosen bukan hanya soal angka di slip pembayaran, tetapi soal pengakuan atas martabat profesi dan investasi masa depan bangsa.

 

*Penulis adalah Dosen dan Anggota Serikat Pekerja Kampus (SPK) di Wilayah Sumatera Barat

icon

Hubungi Kami

Mari Berdiskusi dan Sampaikan Kritik Maupun Saran

Hubungi Kami Sekarang
Image