Serikat Pekerja Kampus Adukan Potensi Tindak Pidana Ketenagakerjaan ke Polda Jabar
Serikat Pekerja Kampus (SPK) Wilayah Jawa Barat berkonsultasi dan mengadukan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat pada Jumat, 3 Oktober 2025. Pengaduan ini dipimpin oleh Koordinator SPK Jabar, Subekti Wirabhuana Priyadharma, bersama sejumlah anggota serikat.
Dalam keterangannya, Subekti menegaskan bahwa perlindungan hak-hak pekerja kampus merupakan isu mendesak yang tidak boleh diabaikan. Ia menilai pemerintah dan aparat penegak hukum harus hadir secara nyata dalam memastikan pemenuhan hak tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Subekti menjelaskan, konsultasi ini berkaitan dengan kemungkinan untuk laporan pidana ketenagakerjaan yang dialami salah satu anggota SPK Jawa Barat, Riski Alita Istiqomah. Riski yang tengah berproses di Pengawas Ketenagakerjaan atas aduan pembayaran upah yang tidak sesuai dan pelanggaran ketenagakerjaan lain oleh Universitas Halim Sanusi (UHS) , kini tidak diberikan beban SKS mengajar sedikitpun oleh kampus. "Belum ada pemberhentian, namun tidak diberi beban SKS, sedangkan setiap semester kan dosen harus melaporkan BKD," ujar Subekti.
“Kasus ini hanyalah puncak gunung es. Banyak dosen yang gajinya di bawah UMK, bahkan tidak dibayar berbulan-bulan. Ironisnya, sebagian besar memilih diam karena kurangnya kesadaran kelas sebagai pekerja. Padahal mereka memiliki kualifikasi tinggi, bergelar S2 dan S3, tetapi dihargai sangat rendah. Sementara anggaran negara lebih banyak dialirkan ke program-program non-mandatory spending seperti MBG,” ujar Subekti.
Ia menambahkan, bila pemerintah benar-benar serius dengan visi Indonesia Emas 2045, maka kesejahteraan pendidik harus menjadi prioritas. “Tanpa visi pendidikan yang berpihak pada pekerja kampus, wacana Indonesia Emas hanya akan menjadi jargon kosong. Kampus-kampus nakal harus diberi efek jera agar tidak lagi memperlakukan pekerjanya dengan semena-mena,” tegasnya.
Dalam satu tahun terakhir, SPK mencatat setidaknya tiga kasus menonjol pelanggaran ketenagakerjaan di sektor pendidikan tinggi Jawa Barat. Pertama, tidak Dibayarkannya Gaji Dosen sesuai aturan— slah satunya yang dialami salah satu anggota SPK, Riski, dosen UHS Bandung, yang tidak membayarkan gaji sesuai kontrak SK yang juga di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota.
Kedua, larangan bergabung dengan serikat buruh, dimana sejumlah dosen menghadapi intimidasi dan ancaman jika bergabung dengan serikat pekerja. Ketiga, ancaman terhadap pelapor. Serikat Pekerja Kampus menerima laporan dosen yang megalami keterlambatan gaji justru mendapat pembatasan jam mengajar serta tekanan untuk mencabut laporan.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berbagai pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Misalnya pada Pasal 90 ayat (1) yang berbunyi "Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum". Juga pada Pasal 93 ayat (2) huruf f dimana "Pengusaha wajib membayar upah bila pekerja siap bekerja tetapi tidak dipekerjakan." Atau selanjutnya juga pada Pasal 185 dan 186 yang berbunyi "Tidak membayar upah, tidak memberi perlindungan kerja, serta menghalangi hak mogok kerja dapat dikenai pidana penjara 1–4 tahun dan denda hingga Rp400 juta."
Dengan demikian, praktik tidak membayar gaji dosen, melakukan intimidasi, hingga membatasi kebebasan berserikat bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana ketenagakerjaan yang dapat ditindak aparat kepolisian.
Pada Januari 2025 lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meluncurkan Desk Ketenagakerjaan Polri untuk menangani laporan-laporan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan. Namun, laporan dari sektor pendidikan tinggi masih sangat jarang, meski kasusnya cukup banyak.
SPK berharap laporan ini menjadi momentum penegakan hukum yang lebih tegas. “Kami tidak akan berhenti mendampingi anggota sampai keadilan ditegakkan. Ini bukan hanya soal upah, tapi soal martabat profesi dosen dan tenaga kependidikan di Indonesia,” tutup Subekti.