Serikat Pekerja Kampus adalah Serikat pekerja yang mewadahi pekerja di bidang/sektor pendidikan tinggi

IKUTI KAMI:

Alamat SPK

Mari bergabung, atau tetap terhubung dengan kami untuk memperjuangkan nasib pekerja kampus.

shape
shape

Serikat Pekerja Kampus: Rumah Kritis Kaum Intelektual

  • Beranda
  • Serikat Pekerja Kampus: Rumah Kritis Kaum Intelektual
Post Image

Serikat Pekerja Kampus: Rumah Kritis Kaum Intelektual

Oleh: Desi Sommaliagustina

Sudah sejak lama saya mengenal nama Serikat Pekerja Kampus (SPK). Kiprahnya mengemuka sebagai simpul perlawanan intelektual di tengah kesunyian dunia akademik yang kian mengkhawatirkan. Namun, saya mengamati dari jauh. Menyimak suaranya yang lantang, mengaminkan isinya dalam hati, tetapi belum turut bergabung. Hingga kemudian, beberapa waktu lalu, saya diajak langsung oleh Mas Castro—aktivis yang tak asing di dunia gerakan kampus—untuk bergabung. Saat itu, saya tidak ragu. Gayung pun bersambut. Tanpa pikir panjang, saya menyatakan keinginan saya untuk ikut. Bagi saya, itu bukan semata ajakan organisatoris, melainkan panggilan moral yang tak bisa saya abaikan.

Ketika saya akhirnya masuk ke dalam ruang SPK, saya merasa pulang. Pulang ke ruang bersama yang bernyawa, di mana intelektualisme tak dikurung dalam menara gading, melainkan dibumikan dalam perjuangan konkret untuk hak, martabat, dan keadilan di lingkungan kampus. Di SPK, saya menemukan nafas kolektif yang selama ini terasa langka: keberanian untuk bersuara, keberpihakan yang jelas, dan solidaritas lintas batas antara dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswa.

Hak Berserikat adalah Hak Konstitusional dan Legal

Bergabung dengan Serikat Pekerja Kampus bagi saya bukan hanya pilihan moral, melainkan juga hak hukum yang dilindungi negara. Hak untuk berserikat dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Lebih spesifik, dalam konteks ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menegaskan bahwa setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja tanpa harus meminta izin dari pihak mana pun. Pasal 5 UU ini bahkan menyatakan bahwa “Setiap pekerja berhak membentuk dan menjadi anggota serta pengurus serikat pekerja/serikat buruh.”

Bagi kami para dosen, perlindungan hukum itu juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 14 huruf g ditegaskan bahwa dosen memiliki hak untuk berserikat dalam organisasi profesi atau organisasi lainnya yang relevan. Artinya, pembentukan dan keikutsertaan dalam serikat pekerja bukanlah pelanggaran, melainkan bagian dari pemenuhan hak sipil dan profesional sebagai pendidik tinggi.

Dengan demikian, SPK bukan entitas liar atau subversif sebagaimana kerap dicurigai oleh sebagian birokrasi kampus yang anti-demokrasi. Justru SPK adalah bentuk konkrit dari perwujudan hak-hak dasar yang sah secara hukum, dan patut dijaga eksistensinya demi masa depan dunia pendidikan yang sehat dan berkeadaban.

Kampus: Ruang Ilmu atau Ruang Kuasa?

Kita tidak sedang hidup di era yang mudah bagi kampus. Secara formil, universitas masih disebut sebagai center of excellence—pusat keunggulan intelektual. Namun dalam praktiknya, banyak yang justru menjadi tempat reproduksi ketimpangan dan penindasan yang terselubung. Nilai-nilai akademik direduksi menjadi angka kredit dan akreditasi. Suara-suara kritis disamakan dengan pembangkangan. Kritik terhadap sistem dianggap ancaman terhadap stabilitas institusi.

Ironisnya, di tengah tuntutan produktivitas yang terus meningkat, hak-hak dasar para pekerja kampus—baik dosen maupun tenaga kependidikan—masih sering diabaikan. Sistem kerja kontrak yang tak manusiawi, beban kerja tak sebanding, kekerasan simbolik dalam birokrasi kampus, hingga pembungkaman terhadap suara-suara perlawanan, menjadi fenomena yang tidak lagi bisa disembunyikan.

Di sinilah saya melihat pentingnya keberadaan SPK. Ia hadir bukan sebagai organisasi administratif semata, melainkan sebagai ruang hidup bagi kaum akademik yang ingin mempertahankan marwah kampus sebagai ruang bebas, adil, dan demokratis.

Sebagai dosen hukum dan Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKPT) yang diamanahkan oleh Rektor Universitas Dharma Andalas , saya kerap berhadapan langsung dengan dinamika kekuasaan di lingkungan kampus. Dalam kerja-kerja advokasi kekerasan seksual, misalnya, kami seringkali menghadapi resistensi institusional. Ketika keberpihakan pada korban berbenturan dengan kenyamanan pihak yang berkuasa, tidak jarang keberanian individual kami diuji. Di situ saya menyadari, advokasi individual tak cukup. Diperlukan kekuatan kolektif yang bisa menjadi penopang moral, politik, bahkan hukum.

SPK menyediakan itu. Ia bukan hanya organisasi, tetapi simpul perlawanan intelektual. Dalam SPK, saya menemukan kolega yang tak hanya pintar, tetapi juga peduli. Saya menemukan semangat gotong royong dalam bentuknya yang paling radikal: bekerja bersama untuk memulihkan hak-hak yang lama diabaikan, menentang sistem yang timpang, dan membela mereka yang tak punya suara.

SPK menunjukkan bahwa akademisi bukan hanya pengajar atau peneliti, tetapi juga warga kampus yang punya tanggung jawab sosial. Di tengah meningkatnya tekanan birokratisasi dan komersialisasi pendidikan, kita harus kembali ke akar: bahwa intelektualisme tidak bisa tercerabut dari realitas sosial-politik tempat ia hidup.

Mengapa Sekarang? Perempuan, Menjaga Api Perlawanan

Sebagian mungkin bertanya: mengapa baru sekarang saya bergabung dengan SPK, padahal saya sudah mengenalnya sejak lama? Jawaban saya sederhana: karena saya percaya bahwa setiap orang punya momen kesadaran masing-masing. Dan bagi saya, momen itu tiba ketika saya menyadari bahwa diam bukan lagi pilihan. Kampus kita sedang sakit—baik secara struktural maupun kultural. Jika kita, para dosen dan tenaga pendidik, terus membungkam diri dan menormalisasi ketidakadilan, maka kita sama saja ikut membunuh roh pendidikan itu sendiri.

Keterlibatan saya dalam SPK bukanlah titik awal perjuangan, tapi kelanjutan dari perjalanan panjang dalam dunia hukum, advokasi, dan pendidikan. Dengan bergabung, saya ingin menegaskan bahwa intelektual perempuan juga punya tempat dan suara dalam gerakan kampus. Saya ingin memastikan bahwa keberanian tidak harus datang dari figur maskulin, tetapi juga bisa bersumber dari pengalaman empatik, kerja sunyi, dan solidaritas feminis.

Tantangan ke depan tidak kecil. Kita akan berhadapan dengan gelombang konservatisme akademik, regulasi yang membungkam, dan kultur birokratis yang kerap mematikan inisiatif. Namun saya yakin, SPK akan tetap menjadi ruang perlawanan yang sehat, terbuka, dan kritis.

Kita perlu memperluas jejaring, memperkuat basis, dan membangun narasi alternatif atas kampus yang bebas dari kekerasan struktural dan eksklusi sosial. Kita harus menjadikan SPK bukan hanya tempat "menampung" keresahan, tetapi juga lokomotif perubahan. Dan ini hanya mungkin jika setiap anggota merasa punya ruang, suara, dan daya.

Saya bergabung dengan Serikat Pekerja Kampus bukan karena saya ingin menjadi aktivis. Saya bergabung karena saya ingin tetap menjadi manusia. Manusia yang berpikir, merasakan, dan bertindak ketika melihat ketimpangan. Manusia yang tidak rela kampus dijadikan ladang kekuasaan yang anti-kritik dan anti-keadilan.

Di SPK, saya menemukan bahwa suara saya tak lagi sendiri. Di SPK, saya merasa bahwa harapan belum mati. Dan selama masih ada yang mau menyatukan nalar dengan nurani, saya percaya: kampus bisa diselamatkan.

icon

Hubungi Kami

Mari Berdiskusi dan Sampaikan Kritik Maupun Saran

Hubungi Kami Sekarang
Image