Serikat Pekerja Kampus adalah Serikat pekerja yang mewadahi pekerja di bidang/sektor pendidikan tinggi

IKUTI KAMI:

Alamat SPK

Mari bergabung, atau tetap terhubung dengan kami untuk memperjuangkan nasib pekerja kampus.

shape
shape

Kampus Yang Tidak Sehat Dapat Tingkatkan ODGJ Di Lingkungan Pekerja Kampus

  • Beranda
  • Kampus Yang Tidak Sehat Dapat Tingkatkan ODGJ Di Lingkungan Pekerja Kampus
Post Image

Kampus Yang Tidak Sehat Dapat Tingkatkan ODGJ Di Lingkungan Pekerja Kampus

Tanggal 9 Oktober 2024, PPHUNIKA Atmajaya bekerja sama dengan hati plong, LBHM, KPSI mengadakan seminar bertajuk Membangun Ruang Sehat yang Sehat dan Setara (Mental Health Week 2024) dan diikuti 139 peserta dari berbagai instansi/lingkungan pendidikan di Indonesia. Dhia Al Uyun (SPK) yang menjadi salah satu narasumber, menceritakan tentang situasi tekanan beban kerja Pekerja Kampus yang berpotensi berdampak pada kesehatan jiwa pekerja kampus. 

Tidak sehat jiwa yang dimaksud, berdasarkan pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa adalah Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan atau perkembangan dan atau kualitas hidup yang berpotensi menjadi ODGJ, sedangkan ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

KSPI memaparkan di atas usia 15 tahun, hampir 10% penduduk mengalami gangguan jiwa. SPK belum memiliki data tertulis tentang jumlah ODGJ dalam pekerja kampus. Namun berdasarkan pembicaraan di grup media sosial, di forum pelatihan SPK, di laporan kasus menunjukkan ODGJ merupakan permasalahan yang tidak dapat dikesampingkan, mengutip tulisan dari KB Christi tentang hubungan kerja dan beban kerja dari 48 responden, 72,2% mengalami gangguan kesehatan jiwa. Di beberapa pemberitaan, terdapat fakta bunuh diri dosen PPDS di Jawa Tengah (BBC, 2024), di Jawa Timur (Sindo, 2024) terdapat dosen yang hilang dan dilarikan ke RSJ akibat beban kerja berlebih.

Riset kesejahteraan dosen yang dirilis SPK tanggal 2 Mei 2024 memperlihatkan adanya 4 (empat) kondisi yang memicu masalah kesehatan jiwa ini. Pertama, Kompensasi yang Tidak Memadai: Mayoritas dosen menerima gaji bersih (Take Home Pay) kurang dari 3 juta rupiah, meskipun memiliki masa kerja lebih dari enam tahun. Dosen awal karir, terutama mereka yang belum memiliki status tetap, sering kali memiliki Take Home Pay (THP) yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kementerian/direktorat pemerintahan dengan kualifikasi serupa. 

Karena gaji yang rendah, sekitar 76% dosen yang disurvei memiliki pekerjaan sampingan di luar tugas akademik utama mereka. Kebutuhan ini berlanjut selama sepuluh tahun pertama karier mereka, menunjukkan bahwa ini adalah masalah sistemik daripada tantangan sementara di awal karier.

Kedua, Kebutuhan untuk Pekerjaan Sampingan: Karena gaji yang rendah, sekitar 76% dosen yang disurvei memiliki pekerjaan sampingan di luar tugas akademik utama mereka. Kebutuhan ini berlanjut selama sepuluh tahun pertama karier mereka, menunjukkan bahwa ini adalah masalah sistemik daripada tantangan sementara di awal karier. Ketiga Kerentanan Lebih Tinggi dari Dosen Universitas Swasta. Dosen di universitas swasta secara signifikan lebih mungkin menerima gaji lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di universitas negeri. Peluang untuk menerima THP kurang dari IDR 2 juta adalah tujuh kali lebih tinggi bagi dosen di institusi swasta. 

Keempat, Ketidaksesuaian Gaji dengan Beban Kerja dan Kualifikasi: 61% responden merasa bahwa kompensasi mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka. Ada perasaan luas di antara dosen bahwa mereka kurang dihargai dan bisa mendapatkan lebih banyak di tempat lain, yang mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam tugas dosen. 

Selain itu, tridharma perguruan tinggi yang terukur dengan BKD dan SKP, segala dokumentasi harus terlapor, profesional services yang menguras waktu kerja, status kepegawaian diukur dengan PermenpanRB  1 Tahun 2023 dan Permenristek nomor 44 Tahun 2024 yang kurang memberikan jaminan kepastian hukum, dan tekanan dari sistem kerja yang tidak sehat (lingkaran-lingkaran kerja), stigmatisasi, like-dislike dan kebijakan yang diskriminatif. Hal ini jika dibiarkan akan menimbulkan persaingan kerja yang tidak sehat, dan seharusnya menjadi perhatian bersama untuk merubah situasi kerja kampus menjadi lebih baik.

icon

Hubungi Kami

Mari Berdiskusi dan Sampaikan Kritik Maupun Saran

Hubungi Kami Sekarang
Image