Dosen Sebagai Lex Specialis: Perjuangan Serikat Pekerja Kampus Jawa Tengah Menuju Perubahan Revolusioner
Jawa Tengah — Serikat Pekerja Kampus (SPK) Jawa Tengah (Jateng) telah menyusun langkah besar dalam mengadvokasi transformasi profesi dosen menjadi sebuah lex specialis, atau status profesi yang memiliki aturan khusus. Dalam kertas kerja tahun 2024-2025, SPK Jateng merangkum berbagai tantangan yang dihadapi dosen, termasuk tata kelola, beban kerja, sistem kepegawaian, penggajian, fasilitas, dan budaya akademik, serta menyarankan reformasi menyeluruh melalui pendekatan revolusioner.
Sejarah Panjang Kekangan Akademik
Kertas kerja tersebut mencatat bagaimana posisi dosen di Indonesia sejak masa kolonial hingga era pascakolonialisme, terus-menerus berada di bawah tekanan sentralisasi dan neoliberalisasi. Pendidikan tinggi di Indonesia seringkali dimanfaatkan untuk tujuan politik dan ekonomi tertentu, mulai dari era kolonial hingga masa modern di mana perguruan tinggi menjadi entitas bisnis.
"Dosen tidak hanya dibatasi oleh tanggung jawab akademik tetapi juga oleh tugas administratif yang tidak relevan," ungkap kertas kerja tersebut. Sistem seperti Indikator Kinerja Utama (IKU) menciptakan tekanan administratif yang signifikan bagi dosen, yang pada akhirnya mengorbankan kebebasan akademik dan inovasi.
Tantangan dalam Profesi Dosen
Kekangan pada dosen tidak hanya bersifat administratif tetapi juga material. Gaji minimum, beban kerja berlebih, dan kurangnya fasilitas memadai menjadi beberapa isu utama. Menurut laporan, banyak dosen di Jawa Tengah harus mengajar hingga 28-30 SKS per semester, jauh melampaui batas yang ideal. Hal ini diperparah dengan rendahnya rasio dosen terhadap mahasiswa, terutama di perguruan tinggi yang terus meningkatkan jumlah mahasiswa tanpa penambahan staf pengajar.
SPK Jateng juga menyoroti ketidaksetaraan dalam sistem penggajian. "Mayoritas dosen di Jawa Tengah menerima gaji bersih di bawah Rp3 juta, meskipun telah bekerja lebih dari enam tahun," sebut kertas kerja itu, merujuk pada studi yang diterbitkan oleh SPK pada tahun 2023. Kondisi ini diperparah dengan adanya sistem tunjangan yang tidak merata dan sering kali bergantung pada jabatan struktural.
“Banyak dosen yang akhirnya harus mengambil pekerjaan tambahan di luar kampus demi mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Ironisnya, mereka tetap dituntut untuk menjaga standar Tri Dharma perguruan tinggi, yang mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” ungkap Syukron Salam, Koordinator SPK Jateng, dalam salah satu diskusi internal.
Sistem administrasi yang rumit juga menjadi beban tambahan bagi para dosen. Mereka diwajibkan memenuhi berbagai laporan kinerja, seperti pengisian data di Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi (SISTER), yang memakan waktu tetapi sering kali tidak memberikan manfaat langsung bagi pengembangan keilmuan. Bahkan, kenaikan jabatan akademik bergantung pada pengumpulan bukti-bukti administratif seperti foto kegiatan, korespondensi dengan jurnal, hingga sertifikat.
“Kebutuhan administratif ini sering kali konyol dan kontraproduktif. Dosen terpaksa mementingkan administrasi daripada substansi,” tulis kertas kerja tersebut. Sistem ini, menurut SPK Jateng, menciptakan lingkungan kerja yang "berorientasi pada angka" daripada hasil akademik yang bermakna.
Selain itu, beban kerja dosen yang terus meningkat juga berdampak pada kesehatan mental mereka. Dalam beberapa kasus, dosen yang awalnya memiliki kondisi mental yang baik justru mengalami stres berat setelah beberapa tahun bekerja. "Banyak dari mereka akhirnya harus berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater," tambah kertas kerja tersebut.
Di sisi lain, budaya akademik di kampus-kampus juga masih terjebak dalam feodalisme, yang semakin memperburuk situasi. Dosen muda sering kali menghadapi diskriminasi dan beban kerja tambahan tanpa dukungan yang memadai dari senior atau manajemen kampus. “Dosen muda dituntut untuk loyal kepada senior mereka, tetapi di saat yang sama, mereka tidak mendapatkan fasilitas yang layak atau kesempatan yang adil,” kritik Dyah Suryaningrum, Sekretaris SPK Jateng.
Masalah ini tidak hanya berdampak pada individu dosen tetapi juga pada kualitas pendidikan secara keseluruhan. Dengan beban kerja yang tidak proporsional, banyak dosen tidak dapat fokus pada penelitian yang inovatif atau pengajaran yang efektif. Ini menjadi tantangan serius bagi perguruan tinggi yang berusaha bersaing di tingkat global. "Kami tidak hanya kehilangan kebebasan akademik, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk menghasilkan pengetahuan yang relevan," tegas kertas kerja tersebut.
SPK Jateng menegaskan bahwa reformasi mendalam diperlukan untuk memperbaiki sistem yang ada. “Kita harus memulai dari pengakuan bahwa profesi dosen adalah elemen strategis dalam pembangunan bangsa. Tanpa mereka, pendidikan tinggi hanya akan menjadi ladang komersialisasi,” tutup Syukron Salam.
Advokasi Revolusioner: Dosen sebagai Lex Specialis
SPK Jateng menyerukan perubahan radikal untuk menjadikan profesi dosen sebagai lex specialis, di mana mereka diperlakukan sebagai tenaga profesional dengan perlindungan hukum khusus. Pendekatan ini mengacu pada pembebasan perguruan tinggi dari cengkeraman neoliberalisme dan sentralisasi berlebihan.
Langkah-langkah yang diusulkan meliputi:
- Reformasi Tata Kelola: Menghapus program PTN-BH yang menekankan pada logika kompetisi dan pemeringkatan universitas.
- Perbaikan Sistem Kepegawaian: Meningkatkan otonomi perguruan tinggi dalam merekrut dosen dan memberikan kebebasan dalam menentukan karier akademik mereka.
- Kesejahteraan Finansial: Merancang struktur penggajian yang adil, termasuk peningkatan tunjangan kinerja dan profesionalisme.
- Kebebasan Akademik: Mengurangi beban administratif agar dosen dapat fokus pada Tri Dharma perguruan tinggi.
"Mayoritas dosen di Jawa Tengah menerima gaji bersih di bawah Rp3 juta, meskipun telah bekerja lebih dari enam tahun,"
Jalan Menuju Perubahan
Kertas kerja ini menjadi agenda utama SPK Jateng yang akan disampaikan pada Rapat Nasional SPK pada Agustus 2024. Diskusi intensif telah dilakukan selama beberapa bulan terakhir untuk merumuskan strategi advokasi, yang mencakup penguatan internal, kampanye eksternal, dan rekrutmen anggota baru.
Koordinator SPK Jateng, Syukron Salam, menyatakan, "Langkah ini bukan hanya demi kepentingan dosen, tetapi juga demi masa depan pendidikan tinggi yang lebih adil dan manusiawi di Indonesia."
Dukungan dan Tantangan
Upaya ini telah mendapatkan dukungan luas dari anggota SPK di berbagai kota di Jawa Tengah. Namun, tantangan juga muncul, terutama dari budaya akademik yang masih terjebak dalam feodalisme dan neoliberalisme. SPK menegaskan pentingnya membangun solidaritas di antara dosen untuk melawan sistem yang tidak adil ini.
"Dosen sebagai lex specialis adalah visi yang kami yakini dapat mengubah wajah pendidikan tinggi di Indonesia," pungkas Dyah Suryaningrum, sekretaris SPK Jateng.
Dengan semangat perubahan, SPK Jateng berkomitmen untuk terus mendorong kebijakan revolusioner ini agar profesi dosen mendapatkan pengakuan yang layak sebagai garda depan pendidikan bangsa.
Selengkapnya kertas kerja dapat di akses di: https://spk.or.id/publikasi